Kemarin aku terlibat percakapan yang cukup aneh. Kenapa aneh?karena percakapan itu sangat serius. Dan seumur-umur aku jarang serius (kecuali serius dalam mengasuh anak).
Teman sekerjaku tiba-tiba mengajakku membuka usaha bersama yang tidak ada kaitannya dengan dunia kesehatan, apalagi dunia keperawatan. Alasan yang dia kemukakan karena dia sudah cukup kecewa dengan dunia keperawatan. Setelah berbagai alternatif kami pikirkan bersama, akhirnya dia memutuskan untuk menulis cerpen. Bagus juga, tapi akan bertahan berapa lama?
Lalu dia mengatakan ingin membuat buku. Waduh,kalo itu saya sama sekali tidak kepikiran. Kenapa tidak kepikiran?karena itu terlalu tinggi untuk saya. Sama tingginya ketika saya berniat untuk sarapan di Hawaii sambil melihat sunrise, lalu makan siang di belanda sambil menikmati udara segar dan melihat kincir angin, dan ditutup dengan makan malam romantis di Italia. Tidak mustahil semua itu terjadi, hanya saja untuk saat ini masih sulit dijangkau.
Aku jadi berpikir, apa sebegitu kecewakah beliau yang sudah hampir 10 tahun bergelut di dunia pendidikan? Masih teringat ketika beliau mengatakan bahwa beliau capek dan tidak berpikir untuk jadi perawat. Kenapa begitu,bukankah itu profesi dasar kami? Ternyata melayani saja tidak cukup, apalagi di tengah tuntutan ekonomi keluarga untuk dipenuhi. Dan ditambah dengan 2 anak yang nantinya harus mengenyam bangku sekolah. Kepalaku jadi ikut-ikutan senut-senut campur cekot-cekot memikirkan kata-kata beliau.
Sempat terlintas, lalu kenapa dulunya mau menjadi seorang perawat? Mungkin karena perawat identik dengan cepat mendapatkan kerja. Alasan yang sama dikemukakan ketika mama memilihkan proefsi itu untukku.
Beliau mengatakan mau menjadi apa saja dan sudah menghilangkan idealisnya tentang sebuah profesi. Sebegitu hebatkah tuntutan ekonomi sehingga menyingkirkan idealisnya? Mungkin aku tidak tahu akan sebuah idealis. Karena sejak awal aku mau menjadi apa saja, tidak terbatas hanya di dunia kesehatan, aku mau merambah dunia apa saja asalkan reward yang kudapat seimbang, bukan masalah prestige sebuah profesi.
Tapi aku bingung ketika aku hanya berdiam diri di rumah. Paling tidak aku harus melakukan sesuatu di rumah. Entah membaca, atau menulis. Mungkin saja menulis sesuatu memang sesuai dengan aku. Secara tingkat IQ-ku yang termasuk kategori cerdas ^_* So,apa memang kita tidak harus berkecimpung di dunia yang sesuai dengan program studi yang dulu sempat kita cicipi waktu kuliah? 1 teman sekerjaku akhirnya menjadi transleter buku untuk fakultas psikologi di sebuah universitas di Yogyakarta. Teman kampusku dulu sempat menjadi editor di sebuah penerbit buku kedokteran. Haduh, seperti apakah dunia profesi kesehatan yang sebenarnya? Ck ck ck...... Cuma itu komentarku. Emang jadi perawat gak bisa kaya ya? Jadi ingat kata beliau, perawat selalu menolong sesama dan dibayar dengan gaji yang relatif rendah. Lalu apakah sesama akan menolong ketika perawat mengalami kesulitan sehubungan dengan gaji yang relatif rendah itu. [Nav]
Teman sekerjaku tiba-tiba mengajakku membuka usaha bersama yang tidak ada kaitannya dengan dunia kesehatan, apalagi dunia keperawatan. Alasan yang dia kemukakan karena dia sudah cukup kecewa dengan dunia keperawatan. Setelah berbagai alternatif kami pikirkan bersama, akhirnya dia memutuskan untuk menulis cerpen. Bagus juga, tapi akan bertahan berapa lama?
Lalu dia mengatakan ingin membuat buku. Waduh,kalo itu saya sama sekali tidak kepikiran. Kenapa tidak kepikiran?karena itu terlalu tinggi untuk saya. Sama tingginya ketika saya berniat untuk sarapan di Hawaii sambil melihat sunrise, lalu makan siang di belanda sambil menikmati udara segar dan melihat kincir angin, dan ditutup dengan makan malam romantis di Italia. Tidak mustahil semua itu terjadi, hanya saja untuk saat ini masih sulit dijangkau.
Aku jadi berpikir, apa sebegitu kecewakah beliau yang sudah hampir 10 tahun bergelut di dunia pendidikan? Masih teringat ketika beliau mengatakan bahwa beliau capek dan tidak berpikir untuk jadi perawat. Kenapa begitu,bukankah itu profesi dasar kami? Ternyata melayani saja tidak cukup, apalagi di tengah tuntutan ekonomi keluarga untuk dipenuhi. Dan ditambah dengan 2 anak yang nantinya harus mengenyam bangku sekolah. Kepalaku jadi ikut-ikutan senut-senut campur cekot-cekot memikirkan kata-kata beliau.
Sempat terlintas, lalu kenapa dulunya mau menjadi seorang perawat? Mungkin karena perawat identik dengan cepat mendapatkan kerja. Alasan yang sama dikemukakan ketika mama memilihkan proefsi itu untukku.
Beliau mengatakan mau menjadi apa saja dan sudah menghilangkan idealisnya tentang sebuah profesi. Sebegitu hebatkah tuntutan ekonomi sehingga menyingkirkan idealisnya? Mungkin aku tidak tahu akan sebuah idealis. Karena sejak awal aku mau menjadi apa saja, tidak terbatas hanya di dunia kesehatan, aku mau merambah dunia apa saja asalkan reward yang kudapat seimbang, bukan masalah prestige sebuah profesi.
Tapi aku bingung ketika aku hanya berdiam diri di rumah. Paling tidak aku harus melakukan sesuatu di rumah. Entah membaca, atau menulis. Mungkin saja menulis sesuatu memang sesuai dengan aku. Secara tingkat IQ-ku yang termasuk kategori cerdas ^_* So,apa memang kita tidak harus berkecimpung di dunia yang sesuai dengan program studi yang dulu sempat kita cicipi waktu kuliah? 1 teman sekerjaku akhirnya menjadi transleter buku untuk fakultas psikologi di sebuah universitas di Yogyakarta. Teman kampusku dulu sempat menjadi editor di sebuah penerbit buku kedokteran. Haduh, seperti apakah dunia profesi kesehatan yang sebenarnya? Ck ck ck...... Cuma itu komentarku. Emang jadi perawat gak bisa kaya ya? Jadi ingat kata beliau, perawat selalu menolong sesama dan dibayar dengan gaji yang relatif rendah. Lalu apakah sesama akan menolong ketika perawat mengalami kesulitan sehubungan dengan gaji yang relatif rendah itu. [Nav]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar